Sejarah Perkembangan Psikologi


Nama          : Muhammad Fajri
Nim             : 421006007
jurusan        : BPI ( Fak. Dakwah IAIN Ar-raniry Banda Aceh)
leting/unit    : 2010/05


Sejarah Perkembangan Psikologi
                 
1.Psikologi pada masa yunani kuno
Minat untuk menyelidiki gejala kejiwaan sudah lama sekali ada di kalamgan umat manusia, diawali oleh para ahli filsafat dari zaman Yunani Kuno. Namun, pada waktu itu belum ada pembuktian nyata empiris melainkan hanya dikemukakan berdasarkan argument dan logis belaka. Dengan kata lain psikologi pada waktu itu benar-benar masih merupakan bagian dari filsafat dalam arti yang semurni-murninya.
            Pada masa Yunani Kuno ini, ada dua pandangan yang di buat oleh para Sarjana Yunani Kuno, yaitu :
a.      Monoisme
Menganggap bahwa jiwa dan badan adalah satu (jiwa dan badan dari unsur-unsur yang sama dan tunduk pada hukum yang sama).
b.      Dualisme
Menganggap bahwa jiwa dan badan masing-masing tunduk pada peraturan dan hukum yang terpisah.
2.  Psikologi Pada Masa Filsafat Islam
                Filsafat muslim sebagaimana sejarah muslim pada umumnya telah melewati lima tahap yang berlainan. Tahap pertama berlangsung dari abad ke-1 H/7 M hingga jatuhnya Baghdad. Tahap kedua adalah tahap keguncangan selama setengah abad. Tahap ketiga merentang dari awal abad ke-4 H/14 M hingga awal abad ke-12 H/18 M. Tahap keempat merupakan tahap paling menyedihkan, berlangsung selama satu setengah abad, inilah Zaman kegelapan islam. Tahap kelima bermula pada pertengahan abad ke-13 H/19 M yang merupakan periode renaisans modern. Dengan demikian sejarah filsafat islam mengalami pasang surut.

3.Psikologi Sebagai Bagian dari Filsafat dan Ilmu Faal
Psikologi sebagai bagian dari ilmu faal berawal dari keterkaitan sejumlah ahli ilmu faal terhadap gejala-gejala kejiwaan.
Sebelum 1879, psikologi dianggap sebagai bagian dari filsafat atau ilmu faal. Pada mulanya ahli-ahli filsafat dari zaman Yunani Kuno-lah yang mulai memikirkan gejala-gejala kejiwaan. Saat itu belum ada pembuktian-pembuktian secara empiris atau ilmiah. Mereka mencoba menerangkan gejala-gejala kejiwaan melalui mitologi. Cara pendekatan seperti itu disebut sebagai cara pendekatan yang naturalistic.
Di antara sarjana Yunani yang menggunakan pendekatan naturalistik adalah Thales (624-548 SM) yang sering disebut sebagai Bapak Filsafat. Ia meyakini bahwa jiwa dan hal-hal supernatural lainnya tidak ada karena sesuatu yang ada harus dapat diterangkan dengan gejala alam (natural phenomenon). Ia pun percaya bahwa segala sesuatu berasal dari air dan karena jiwa tidak mungkin dari air maka jiwa dianggapnya tidak ada. Tokoh lainnya adalah Anaximander (611-546 SM) yang mengatakan bahwa segala sesuatu berasal dari sesuatu yang tidak tentu, sementara Anaximenes (abad 6 SM) mengatakan bahwa segala sesuatu berasal dari udara. Tokoh yang tak kalah pentingnya adalah Empedocles, Hippocrates, dan Democritos.
Empedocles (490-430 SM) mengatakan bahwa ada empat elemen besar dalam alam semesta, yaitu bumi/tanah, udara, api, dan air. Manusia terdiri dari tulang, otot, dan usus yang merupakan unsur dari tanah; cairan tubuh merupakan unsur dari air; fungsi rasio dan mental merupakan unsur dari api; sedangkan pendukung dari elemen-elemen atau fungsi hidup adalah udara. Berdasarkan pada pandangan Empedochles, Hipocrates (460-375 SM) yang dikenal sebagai Bapak Ilmu Kedokteran, menyatakan bahwa dalam diri manusia terdapat empat cairan tubuh yang memiliki kesesuaian sifat dengan keempat elemen dasar tersebut.
Berdasarkan komposisi cairan yang ada dalam tubuh manusia tersebut maka Hipocrates membagi manusia dalam empat golongan tersebut, yaitu:
v Seorang mempunyai kelebihan (terlalu banyak ekses) darah dalam tubuhnya mempunyai temperamen penggembira.
v Melancholic,terlalu banyak sumsum hitam, temperemen pemurung.
v Choleric, terlalu banyak sumsum kuning, bertemperamen semangat dan gesit.
v Plegmatic, terlalu banyak lendir dan bertemperamen lamban.
Democritus (460-370 SM) berpendapat bahwa seluruh realitas yang ada di dunia ini terdiri dari partikel-partikel yang tidak dapat dibagi lagi yang oleh Einstein kemudian diberi nama “atom”. Beratus-ratus tahun sesudah Democritus prinsip tersebut masih diikuti oleh beberapa sarjana, antara lain I.P. Pavlov dan J.B. Watson yang sama-sama berpendapat bahwa ‘atom’ dari jiwa adalah refleks-refleks.
Tokoh-tokoh Yunani kuno tersebut di atas pada dasarnya menganggap bahwa jiwa adalah satu dengan badan. Jiwa dan badan berasal dari unsur-unsur yang sama dan tunduk pada hukum-hukum yang sama (pandangan monoisme). Selain pandangan monoisme, tumbuh pula pandangan dualisme, yaitu pandangan yang memisahkan jiwa dari badan, jiwa tidak sama dengan badan, dan masing-masing tunduk pada peraturan-peraturan atau hukum-hukum yang terpisah. Tokoh-tokoh terkenal yang menganut pandangan dualisme antara lain: Socrates (469-399 SM), Plato (427-347 SM), dan Aristoteles (384-322 SM). Dengan metode tanya jawab yang disebut “Socratic Method” itu akan timbul pengertian yang disebut “Maieutics” (menarik keluar seperti yang dilakukan oleh bidan). Maieutics ini kemudian ditumbangkan oleh R. Rogers tahun 1943 menjadi teknik dalam psikoterapi yang disebut “Non Directive Techniques”, suatu teknik yang digunakan oleh psikolog atau psikoterapis untuk menggali persoalan-persoalan dalam diri pasien sehingga ia menyadari sendiri persoalan-persoalannya tanpa terlalu diarahkan oleh psikolog atau psikoterapisnya.
 Socrates menekankan pentingnya pengertian tentang “diri sendiri” bagi setiap manusia sehingga menurutnya adalah kewajiban setiap orang untuk mengetahui dirinya sendiri terlebih dahulu kalau ia ingin mengerti tentang hal-hal di luar dirinya. Semboyannya yang terkenal adalah “belajar yang sesungguhnya pada manusia adalah belajar tentang manusia.
Sementara Plato, murid dan pengikut setia Socrates dan dianggap sebagai penganut dualisme yang sebenar-benarnya, mengatakan bahwa dunia kejiwaan berisi ide-ide yang berdiri sendiri terlepas dari pengalaman hidup sehari-hari. Pada orang dewasa dan intelektual, mereka dapat membedakan mana jiwa dan mana badan. Akan tetapi, pada anak-anak jiwa masih bercampur dengan badan, belum bisa memisahkan Ide dari benda-benda kongkrit. Jiwa yang berisi Ide-Ide ini diberi nama “Psyche”. Selain itu, Plato juga meyakini bahwa tiap-tiap orang telah ditetapkan status dan kedudukannya di masyarakat sejak lahir apakah ia seorang filsuf, prajurit, atau pekerja. Ia percaya bahwa tiap orang dilahirkan dengan kekhususan tersendiri, tidak sama antara satu sama lainnya.
Dengan demikian, selain dianggap sebagai penganut paham Determinisme atau Nativisme, ia pun dianggap sebagai tokoh pemula dari paham “individual differences.” Dalam perkembangan psikologi selanjutnya, paham individual differences ini membawa para sarjana ke   arah penemuan alat alat pemeriksa psikologi (psikotes).
  Kalau Plato dianggap sebagai seorang rasionalis yang percaya bahwa segala sesuatu berasal dari ide-ide yang dihasilkan rasio maka Aristoteles (385-322 SM), murid Plato, berkeyakinan bahwa segala sesuatu yang berbentuk kejiwaan (form) harus menempati sesuatu wujud tertentu (matter). Wujud ini pada hakikatnya merupakan pernyataan atau ekspresi dari jiwa. Tuhanlah satu-satunya yang tanpa wujud, hanya form (kejiwaan) saja. Aristoteles sering disebut sebagai Bapak Psikologi Empiris karena menurutnya segala sesuatu harus bertitik tolak dari realita, yaitu matter.
Matter-lah sumber utama pengatahuan. Aristoteles mengatakan pada bukunya yang terkenal De Anima. Dalam buku itu ia mengatakan bahwa setiap benda di dunia ini mempunyai dorongan untuk tumbuh dan menjadi sesuatu sesuai dengan tujuan yang sudah terkandung dalam benda itu sendiri. Aristoteles selanjutnya membedakan antara hule dan morphe. Hule (Noes Photeticos) adalah “yang terbentuk”. sedangkan Morphe (Noes Poeticos) adalah “yang membentuk”. Benda dalam alam tidak tumbuh dan berkembang begitu saja, tetapi menjadi atau diperkembangkan menjadi sesuatu. Sebelum benda itu terwujud benda itu berupa kemungkinan. Selanjutnya Aristoteles membedakan tiga macam form, yaitu:
v  Plant, yang mengontrol fungsi-fungsi vegetatif;
v  Animal, dapat dilihat dalam fungsi-fungsi seperti: mengingat, mengharap, dan persepsi;
v  Rasional, yang mungkin manusia malakukan penalaran (reasoning) dan membentuk konsep-konsep.
Khusus pada manusia, dorongan untuk tumbuh ini berbentuk dorongan untuk merealisasikan diri (self realization) yang disebut entelechi. Menurut Aristoteles fungsi jiwa dibagi dua, yaitu kemampuan untuk mengenal dan kemampuan berkehendak.
Berabad-abad setelah zaman Yunani Kuno, Psikologi masih merupakan bagian dari Filsafat. Pada masa Renaissance, di Francis muncul Rene Decartes (1596-1650) yang terkenal dengan teori tentang “kesadaran”, sementara di Inggris muncul tokoh-tokoh seperti John Locke (1623-1704), George Berkeley (1685-1753), James Mill (1773-1836), dan anaknya John Stuart Mill (1806-1873), yang semuanya itu dikenal sebagai tokoh-tokoh aliran Asosianisme.

Dalam perkembangan Psikologi selanjutnya, peran sejumlah sarjana ilmu Faal yang juga menaruh minat terhadap gejala-gejala kejiwaan tidak dapat diabaikan. Tokohnya antara lain: C. Bell (1774-1842), F. Magendie (1785-1855), J.P. Muller (1801-1858), P. Broca (1824-1880), dan sebagainya. Nama seorang sarjana Rusia, I.P. Pavlov (1849-1936), tampaknya perlu dicatat secara khusus karena dari teori-teorinya tentang refleks kemudian berkembang aliran Behaviorisme, yaitu aliran dalam psikologi yang hanya mau mengakui tingkah laku yang nyata sebagai objek studinya dan menolak anggapan sarjana lain yang mempelajari juga tingkah laku yang tidak tampak dari luar.
4. Psikologi Sebagai Ilmu yang Berdiri Sendiri   
                 Pada akhir abad ke-19 terjadilah babak baru dalam sejarah Psikologi. Pada tahun 1879, Wilhem Wundt (Jerman, 1832-1920) mendirikan laboratorium Psikologi pertama di Leipzig yang menandai titik awal Psikologi sebagai suatu ilmu yang berdiri sendiri. Sebagai tokoh Psikologi Eksperimental, Wundt memperkenalkan metode Introspeksi yang digunakan dalam eksperimen-eksperimennya. Ia dikenal sebagai tokoh penganut Strukturalisme karena ia mengemukakan suatu teori yang menguraikan struktur dari jiwa. Wundt percaya bahwa jiwa terdiri dari elemen-elemen (Elementisme) dan ada mekanisme terpenting dalam jiwa yang menghubungkan elemen-elemen kejiwaan satu sama lainnya sehingga membentuk suatu struktur kejiwaan yang utuh yang disebut asosiasi. Oleh karena itu, Wundt juga dianggap sebagai tokoh  Asosianisme.
            Masa perkembangan sistematika Wundt dibagi dalam empat periode :
a.      Tahun 1860-an disebut periode Pra-sistematika. Wundt mengemukakan teori tentang persepsi dan perbedaan antara perasaan (feeling) dan pengindraan (sensation.
b.      Tahun 1874-1887, Wundt mulai jelas kosepnya setelah menyusun buku “Psysiologische Psychologie” jiwa digambarkan sebagai elemen-elemen seperti pengindraan, perasaan dan sebagainya yang satu sama lain dihubungkan dengan asosiasi.
c.       Tahun 1896, Wundt mengajukan teori tiga dimensi dari perasaan (feeling) nya. Wundt mengatakan bahwa ada tiga pasang kutub perasaan yaitu senang tak senang, tegang tak tegang dan semangat tenang.s
d.      Tahun 1902-1903, Wundt memberikan teori yang terbaru mengenai perasaan. Setiap rangsangan yang sampai ke indera manusia selalun dipersepsikan. Pada periode ini Wundt juga mengemukakan tentang proses mental yang lebih tinggi dari penginderaan, perasaan, persepsi dan apersepsi.

           Wundt disebut sebagai sarjana psikologi yang pertama karena dengan tegas  membedakan psikologi dari fisika. Wundt juga menggunakan metode introspeksi. Metode intropeksi ini tidak terdapat dalam fisika jiwa (Mind) dan tubuh atau wujud (matter) karena merupakan dua hal yang berbeda.
5. Psikologi Di Indonesia
            Keberadaan psikologi di Indonesia dimulai pada tahun 1952. Di Indonesia, psikologi di butuhkan dalam bidang kesehatan, bisnis, pendidikan, politik, permasalahan social dll. Psikologi di Indonesia diperkenalkan oleh Slamet Imam Satoso, seorang profesor psikiatri di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Menurut Slamet, psikiater membutuhkan ilmu psikologi untuk menjelaskan potensi-potensi manusia guna menyeleksi orang yang tepat pada pekerjaan yang tepat.
            Psikolog Indonesia yang pertama kali lulus adalah Fuad Hasan, pada tahun 1958. Dan pada tahun 1960, departemen psikologi tersebut berdiri sendiri menjadi Fakultas Psikologi dengan Slamet Imam Santoso sebagai dekannya. Dan kemudian, pada tahun 70 di ganti dengan Fuad Hasan.


            Pendidikan Psikologi di Indonesia saat ini distandardisasi dan berada di bawah kontrol Departemen Pendidikan Nasional. Izin praktik untuk para psikolog berada di bawah control HIMPSI (Himpunan Psikologi Indonesia) dan departemen tenaga kerja. HIMPSI berdiri sejak tahun 1998-1999 yang sudah memiliki beberapa divisi, antara lain : Ikatan Psikologi Olahraga (IPO), Ikatan Psikologi Sosial (IPS), Asosiasi Psikologi Industri dan Organisasi (APIO), dan Asosiasi Psikologi Islam (API) yang didirikan pada tahun 2002. 

Comments

Popular posts from this blog

Memilih Pemimpin Dalam Islam Seperti Rasullah

Lowongan Kerja Terbaru Wilayah Aceh | Oktober 2022

Lowongan Kerja Terbaru Oktober 2022 | Posisi SGS & SDS